Minggu, 25 April 2010

menjaga keutuhan NKRI

Menjaga Keutuhan NKRI
Dalam kenyataan, ideologi asing kapitalisme dengan jargon demokrasi dan HAM yang transnasional itulah yang kini telah membawa Pancasila menjadi semakin sekuler, dan semakin menjauh dari agama.
Saya menganggap perlu untuk memberikan klarifikasi agar pembaca mendapatkan informasi berimbang dan pemahaman yang lurus terhadap syariah, khilafah dan NKRI.
Menurut pandangan Sdr Arief, munculnya Islam dengan agenda syariah dan khilafah adalah ancaman bagi NKRI. Penulis mencontohkan, munculnya perda syariah membuat bangsa Indonesia kian tercabik.
Pernyataan ini jelas tidak berangkat dari pendalaman atas fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia. Kenyataannya, ancaman utama terhadap negeri ini justru datang dari sekulerisme dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Sejak Indonesia merdeka, negeri ini diatur oleh sistem sekuler.Agama memang tidak ditolak. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Dalam urusan kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Di tengah-tengah sistem sekuleristik itu lahir berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai Islam. Akibatnya bukan kebaikan yang diperoleh rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Karenanya, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi.
Negeri ini penghasil minyak, namun untuk mendapatkan minyak tanah rakyat harus mengantre berjam-jam. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Sepanjang krisis, kriminalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perceraian meningkat 400% dan penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%.
Ancaman kedua, yaitu neo-imperialisme. Indonesia memang merdeka, namun penjajahan tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi atas Dunia Islam, termasuk Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora.
Neo-imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan mengisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi imperialistik mereka.
Akibatnya, negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik.
Kenyataan ini bisa dilihat pada munculnya UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi, serta kebijakan lain yang merugikan Negara, seperti pada kasus penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Komitmen
Terkait tuduhan penulis bahwa perjuangan HTI bisa menjadi ancaman bagi NKRI, maka saya perlu menegaskan kembali komitmen HTI terhadap keutuhan Indonesia.Misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui Unamet, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia.
Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Demikian pula saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan agar Indonesia jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya. Bagi HTI, keutuhan wilayah Indonesia itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun. Disintegrasi Indonesia berarti semakin menyuburkan perpecahan umat.
Perjuangan Lebih Baik
Pernyataan bahwa penerapan perda syariah di beberapa daerah sebagai ancaman NKRI jelas tidak berdasar. Perda syariah sama sekali tidak menyerukan disintegrasi, bahkan dibuat untuk mewujudkan ketertiban masyarakat, dan hasilnya masyarakat semakin tertib dan keutuhan masyarakat juga lebih terjaga.
Dari hasil penelitian, setelah penerapan perda syariah di Bulukumba, tingkat kriminalitas, pembunuhan dan pemerkosaan menurun hingga 80%. Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera Barat. Begitu pula penerapan perda zakat di beberapa daerah telah meningkatkan PAD secara cukup signifikan.
Oleh karenanya, apa yang dilakukan HTI bersama ormas-ormas lain dengan perjuangan syariah dan khilafah, tiada lain adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, ide Khilafah yang substansinya adalah syariah dan ukhuwah, juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru yang sekarang tengah mencengkeram negeri oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, perjuangan HTI, termasuk penyelenggarakan acara konferensi lalu, bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia lebih baik pada masa datang.
Sekulerisasi Pancasila
Terkait dengan pernyataan Sdr Arief bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka bisa menjadi solusi untuk mencegah semakin menyebarnya ideologi asing, dalam kenyataan, ideologi asing kapitalisme dengan jargon demokrasi dan HAM yang transnasional itulah yang kini telah membawa Pancasila menjadi semakin sekuler, dan semakin menjauh dari agama.
Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabotinggi pernah mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya RI. (Pasal 29 UUD 1945) . Artinya dengan visi "negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa Negara yang dibangunnya bukanlah sekuler.
Karenanya tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional.
Sebagai Open ide, sebagaimana yang disampaikan Presiden SBY pada 1 Juni 2006, seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan tidak boleh dibendung, apalagi membenturkannya.
Selanjutnya, apakah penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Penting untuk difahami bersama, sebagai agama yang menoleransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa pengaturan urusan ibadah, cara berpakaian, makan, minum, perkawinan dan perceraian dari pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing untuk menjalankan syariat agamanya.
Bilamana syariat Islam dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh sosialisme dan kapitalisme telah diadopsi oleh suatu negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapannya sebagai produk hukum bersifat mengikat untuk semua warga negara dalam hukum yang bersifat umum, seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, sehingga secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Secara historis, kondisi ini telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan.
Kita tentu harus arif dalam melihat masalah ini, karena bagaimanapun mempertentangkan agama khususnya Islam dengan Pancasila akan membawa kondisi yang kontra produktif. Sementara masalah besar seperti kemiskinan, kebodohan, dominasi asing dalam kebijakan publik jelas-jelas nampak di pelupuk mata kita. (11)

Menjaga Keutuhan NKRI
Dalam kenyataan, ideologi asing kapitalisme dengan jargon demokrasi dan HAM yang transnasional itulah yang kini telah membawa Pancasila menjadi semakin sekuler, dan semakin menjauh dari agama.
TULISAN Sdr Arief Fauzi Marzuki (SM,26 Oktober 2007) berjudul "Quo Vadis Pemuda Menjaga NKRI" provokatif dan sangat subjektif serta kurang didukung argumentasi faktual dan rasional. Sdr Arief juga menuduh bahwa ide perjuangan syariah dan khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan saja tidak menemukan pijakan yuridis normatif, tetapi juga bisa mengancam NKRI.
Saya menganggap perlu untuk memberikan klarifikasi agar pembaca mendapatkan informasi berimbang dan pemahaman yang lurus terhadap syariah, khilafah dan NKRI.
Menurut pandangan Sdr Arief, munculnya Islam dengan agenda syariah dan khilafah adalah ancaman bagi NKRI. Penulis mencontohkan, munculnya perda syariah membuat bangsa Indonesia kian tercabik.
Pernyataan ini jelas tidak berangkat dari pendalaman atas fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia. Kenyataannya, ancaman utama terhadap negeri ini justru datang dari sekulerisme dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Sejak Indonesia merdeka, negeri ini diatur oleh sistem sekuler.Agama memang tidak ditolak. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Dalam urusan kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Di tengah-tengah sistem sekuleristik itu lahir berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai Islam. Akibatnya bukan kebaikan yang diperoleh rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Karenanya, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi.
Negeri ini penghasil minyak, namun untuk mendapatkan minyak tanah rakyat harus mengantre berjam-jam. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Sepanjang krisis, kriminalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perceraian meningkat 400% dan penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%.
Ancaman kedua, yaitu neo-imperialisme. Indonesia memang merdeka, namun penjajahan tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi atas Dunia Islam, termasuk Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora.
Neo-imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan mengisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi imperialistik mereka.
Akibatnya, negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik.
Kenyataan ini bisa dilihat pada munculnya UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi, serta kebijakan lain yang merugikan Negara, seperti pada kasus penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Komitmen
Terkait tuduhan penulis bahwa perjuangan HTI bisa menjadi ancaman bagi NKRI, maka saya perlu menegaskan kembali komitmen HTI terhadap keutuhan Indonesia.Misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui Unamet, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia.
Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Demikian pula saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan agar Indonesia jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya. Bagi HTI, keutuhan wilayah Indonesia itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun. Disintegrasi Indonesia berarti semakin menyuburkan perpecahan umat.
Perjuangan Lebih Baik
Pernyataan bahwa penerapan perda syariah di beberapa daerah sebagai ancaman NKRI jelas tidak berdasar. Perda syariah sama sekali tidak menyerukan disintegrasi, bahkan dibuat untuk mewujudkan ketertiban masyarakat, dan hasilnya masyarakat semakin tertib dan keutuhan masyarakat juga lebih terjaga.
Dari hasil penelitian, setelah penerapan perda syariah di Bulukumba, tingkat kriminalitas, pembunuhan dan pemerkosaan menurun hingga 80%. Kondisi serupa juga terjadi di Sumatera Barat. Begitu pula penerapan perda zakat di beberapa daerah telah meningkatkan PAD secara cukup signifikan.
Oleh karenanya, apa yang dilakukan HTI bersama ormas-ormas lain dengan perjuangan syariah dan khilafah, tiada lain adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, ide Khilafah yang substansinya adalah syariah dan ukhuwah, juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru yang sekarang tengah mencengkeram negeri oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, perjuangan HTI, termasuk penyelenggarakan acara konferensi lalu, bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia lebih baik pada masa datang.
Sekulerisasi Pancasila
Terkait dengan pernyataan Sdr Arief bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka bisa menjadi solusi untuk mencegah semakin menyebarnya ideologi asing, dalam kenyataan, ideologi asing kapitalisme dengan jargon demokrasi dan HAM yang transnasional itulah yang kini telah membawa Pancasila menjadi semakin sekuler, dan semakin menjauh dari agama.
Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabotinggi pernah mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya RI. (Pasal 29 UUD 1945) . Artinya dengan visi "negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa Negara yang dibangunnya bukanlah sekuler.
Karenanya tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional.
Sebagai Open ide, sebagaimana yang disampaikan Presiden SBY pada 1 Juni 2006, seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan tidak boleh dibendung, apalagi membenturkannya.
Selanjutnya, apakah penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Penting untuk difahami bersama, sebagai agama yang menoleransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa pengaturan urusan ibadah, cara berpakaian, makan, minum, perkawinan dan perceraian dari pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing untuk menjalankan syariat agamanya.
Bilamana syariat Islam dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh sosialisme dan kapitalisme telah diadopsi oleh suatu negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapannya sebagai produk hukum bersifat mengikat untuk semua warga negara dalam hukum yang bersifat umum, seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, sehingga secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Secara historis, kondisi ini telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan.
Kita tentu harus arif dalam melihat masalah ini, karena bagaimanapun mempertentangkan agama khususnya Islam dengan Pancasila akan membawa kondisi yang kontra produktif. Sementara masalah besar seperti kemiskinan, kebodohan, dominasi asing dalam kebijakan publik jelas-jelas nampak di pelupuk mata kita. (11)

Menhan : NKRI adalah Cita-Cita Pendiri Bangsa

Jakarta – DMC, Indonesia menempati posisi pertama di dunia sebagai negara yang penduduknya sebagian besar memeluk agama Islam. Patut digarisbawahi bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, walaupun terdapat beberapa unsur atau kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara muslim. Tentunya hal ini sangat tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan para pendiri bangsa (founding fathers).

Apa yang dicita-citakan dan diharapkan para pendiri bangsa adalah membentuk negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan masing-masing sedikit mengorbankan kepentingan-kepentingan kelompok untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan RI) Juwono Sudarsono dalam menerima kunjungan Chief Executive Officer (CEO) Mr. C. Holland Taylor Libfor Foundation dan Mr. Walter Russell Mead, Kamis (7/8), di kantor Dephan, Jakarta.

Menhan menjelaskan, Indonesia sebagai negara besar yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan dalam menyelesaikan masalah internal dalam negerinya menerapkan pendekatan Islam tradisional yang bisa terwujud melalui pendekatan soft approach atau pendekatan secara damai. Pendekatan Islam tradisional melalui soft approach yang dilakukan seperti Indonesia, bisa dijadikan contoh untuk meredakan konflik atau masalah yang terjadi di Palestina.

Ditambahkan menhan dalam memandang konflik Palestina selayaknya ditinjau dari dua sisi yaitu tinjauan geografi dan micro population nationalism. Artinya hal ini turut memicu timbulnya kelompok-kelompok yang sering menimbulkan benturan-benturan kepentingan yang diselesaikan tidak dengan cara damai. “Apabila konflik atau masalah dalam negeri Palestina dapat diselesaikan secara mandiri dengan menggunakan soft approach maka konflik yang terjadi di Palestina dengan sendirinya akan mereda”, jelas menhan.

Dalam pertemuan singkat tersebut, tim Libfor Foundation menyampaikan kepada menhan bagaimana mewujudkan perdamaian di Palestina dengan menggunakan perspektif atau pendekatan yang telah dilakukan Indonesia dengan melakukan pendekatan secara Islam melalui soft approach. Menurut CEO Libfor Foundation konflik atau masalah yang terjadi di Indonesia sebenarnya lebih kompleks jika dibandingkan dengan konflik yang terjadi di Palestina tetapi Indonesia dapat menyelesaikannya dengan cara damai.

Menurut tim Libfor Foundation, bahwa perspektif Indonesia dalam menyelesaikan masalah dan konflik bisa diterapkan di Palestina, setelah mempelajari Indonesia terlebih dahulu secara lebih mendalam dengan keanekaragaman budaya, agama dan tata cara yang berlaku di Indonesia.

Tim Libfor Foundation berharap, setelah melakukan pertemuan dengan menhan akan diadakan pertemuan lanjutan secara teknis untuk membahas bagaimana menciptakan hubungan yang baik sehingga tidak mudah berbenturan antara kepentingan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Menhan yang didamping Staf ahli Sosial Budaya dan Agama Dephan Prof. Dr. H. Bambang Pranowo dan Karo Humas Setjen Dephan Brigjen TNI S. Hariyanto pada kesempatan tersebut juga menyampaikan harapannya kepada tim Libfor Foundation, agar sekembalinya dari Indonesia perhatian Amerika terhadap Indonesia lebih ditingkatkan dengan diadakannya kerja sama pendidikan dan latihan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia atau Human Resources.