Papan reklame bertaburan di pinggir Jalan Tebet Utara Dalam, Jakarta Selatan. Meski sudah dipenuhi tempat usaha, kawasan itu sesungguhnya merupakan kawasan hunian.
PREUBAHAN berlaju kencang di Jalan Tebet Utara Dalam, Tebet, Jakarta Selatan tiga tahun terakhir. Seiring membaiknya kondisi ekonomi negeri ini, kawasan permukiman itu berubah wajah jadi tempat nongkrong (hang out) remaja dan anak muda berduit. Rumah tinggal pun disulap jadi deretan distro (distribution outlet), café, restoran, salon, dan spa.
Menurut Martin Sunu, pegelola dan pemilik Distro Bloop dan Endorse, dari 32 rumah di jalan sepanjang kurang lebih 300 meter itu, sisa empat yang masih berupa rumah tinggal. Sementara menurut Alexander Mulyoto, salah satu pemegang saham Bebek Ginyo, harga pasaran tanah di kawasan itu melejit empat kali lipat dari Rp 2,5 juta per meter tahun 2005 menjadi hampir Rp 10 juta sekarang ini.
Sedikitnya sudah ada delapan distro (meski penampilannya lebih mirip butik), belasan kafe dan restoran, serta sejumlah salon/spa di kawasan itu. Beberapa rumah sedang direnovasi, dan entah jenis usaha apa lagi yang akan muncul.
Pilihan jenis makanan yang tersedia di kawasan itu bervariasi, dari mie rebus, roti bakar, bakso, bebek, soto, sampai sandwich, burger, serta kebab turki. Harga makannya berkisar antara ribuan sampai tiga puluh ribuan rupiah per porsi. Distro-distro menawarkan aneka model t-shirt, topi, jaket, celana, blue jeans, serta pakaian wanita. Harga per potongnya antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000-an. Tak berlebihan kalau dikatakan, Tebet Utara telah menjelma jadi daerah tujuan wisata belanja dan kuliner.
Sore hingga malam distro dan tempat-tempat makan penuh pengunjung. Puncak keramaian terjadi pada akhir pekan. Para pengunjung umumnya remaja dan anak muda, sebagian masih dengan seragam sekolah. Mereka datang berombongan dengan menggunakan mobil pribadi. Jalanan pun jadi macet. Distro dan tempat-tempat makan itu tidak mampu menampung kendaraan para pengnjung. Sejumlah tempat makan bahkan tidak punya tempat parkir.
Sejumlah tempat makan punya area outdoor yang berbatasan dengan jalan. Suasananya terasa santai. Sayang, jalanannya sering macet, asap kendaraan bisa mengganggu kenyamanan.
Distro
Awalnya di kawasan itu, tepatnya di trotoar di samping SMPN 115, hanya terdapat sebuah warung mie dan roti bakar bernama Wafa ’99 milik Haji Mansyur yang terkenal di kalangan anak-anak muda. Warung itu beroperasi sejak tahun 1982 dan mulai 2001 buka 24 jam. “Nongkrong di Wafa,” begitu kata sejumlah anak remaja sekitar empat tahun lalu.
Wafa ’99 masih bertahan, ramai, dan tetap berada di kaki lima. Harga makannya murah meriah, rata-rata Rp 7.000.
Kawasan itu baru mulai menggeliat tahun 2003, ketika Martin Sunu (29) merintis usaha distro yang diberi nama Bloop. Martin menjual barang-barang lokal yang diproduksi dalam jumlah sangat terbatas dengan harga terjangkau. Ia menyewa sebuah rumah. Lokasi itu dipilih karena disekitarnya banyak sekolah dan tempat kursus. Segmen pasar yang hendak disasar memang para remaja dan anak-anak muda. Ia buka distronya menjelang lebaran dan ternyata mendapat sambutan hangat.
Sukses dengan distro pertama yang dimulai dengan selusin koleksi t-shirt, Martin lalu membuka satu lagi di seberang jalan dan diberi nama Endorse. Usahanya berkembang pesat. Dari fashion, Martin yang mendapat sokongan penuh keluarganya merambah ke usaha tempat makan. Ia dan keluarganya lalu membuka DeJones Burger dan Bebek Ginyo. DeJones saban hari dijubeli anak-anak muda, sementara Bebek Ginyo menjadi restoran anak muda dan keluarga muda.
Sukses Martin menarik para pemilik modal lain. Mitra usaha Martin yang semula merupakan supplier untuk Bloop dan Endorse kemudian membuka distro sendiri di kawasan itu. Pengusaha salon/spa dan tempat makan pun bermunculan.
Alexander Mulyoto menuturkan, seiring berkembangnya kawasan itu sebagai tempat usaha, harga tanahnya melonjak. “Tahun 2005, ketika kami membeli tanah di sini, harganya masih Rp 2,5 juta per meter. Sekarang pasarannya sekitar Rp 10 juta,” kata Mulyoto.
Kawasan Hunian
Kawasan Tebet secara keseluruhan memang tengah berkembang pesat. Tebet yang awalnya merupakan tempat relokasi warga Senayan yang jadi korban gusuran pada tahun 1959 dan awal 1960-an karena di Senayan dibangun gelanggang olahraga (Gelora Bung Karno), kini jadi tempat bisnis dan hang-out anak-anak muda serta orang kantoran.
Tempat makan dan aneka jenis usaha lain bermunculan di sela-sela rumah tinggal. Perubahan di kawasan itu berlangsung cepat sejak krisis moneter tahun 1998, ketika banyak perusahaan yang berkantor di kawasan segitiga emas Sudirman, Thamrin dan Kuningan yang terlilit krisis. Perusahaan-perusahaan tidak sanggup membayar sewa kantor di kawasan segitiga emas lalu melirik kawasan Tebet.
Maka arus modal pun membanjiri Tebet. Perubahan yang menyertai datangnya arus modal itu menabrak sejumlah aturan tata ruang. Kawasan Tebet Utara itu misalnya, meski telah dipadati distro dan restoran, kawasan itu sesungguhnya merupakan kawasan hunian. Berdasarkan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kecamatan Tahun 2005 yang berlaku hingga kini, peruntukan kawasan itu untuk wisma dengan fasilitasnya. Artinya, daerah itu merupakan kawasan hunian, bukan untuk tempat usaha atau komersial.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepertinya tutup mata terhadap penyimpangan yang terjadi. Alhasil, rumah tinggal terus berganti wajah jadi tempat usaha dan tampaknya hal itu tidak akan terbendung.
Minggu, 28 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar