Rabu, 27 Oktober 2010

pencegahan hiv aids

HIV, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, kontan masuk jajaran salah satu pembunuh manusia terbesar sepanjang jaman. Maka tak heran ketika kalender menjejak tanggal Satu Desember-hari anti HIV/AIDS sedunia-, orang ramai-ramai turun ke jalan, membuat seminar hingga menggelar pertunjukan yang intinya menyerukan ajakan untuk meredam penyebaran virus maut ini.

Di Belanda sendiri peringatan hari anti HIV/AIDS sedunia itu sudah digeber sejak satu pekan sebelum tanggal Satu Desember. Dihentak lewat pagelaran Dance4Life yang kemudian disambung dengan berbagai acara khusus yang membahas HIV/AIDS. Puncaknya beberapa lokasi di Amsterdam dilaksanakan acara unjuk kepedulian terhadap penderita HIV/AIDS, serta upaya pencegahan maupun penanggulangan penyebaran HIV/AIDS. Kota-kota besar di Eropa juga diselenggarakan acara serupa. Aksi lain yang dilakukan berupa mengenakan pita merah tanda peduli. Bono, musisi terkenal U2 membuat himbauan via internet. Ia meminta perhatian atas wabah HIV/AIDS terutama di Afrika. AIDS di Belanda tahun 2006 membunuh 80 orang. Ini turun drastis dibanding akhir 90an yang menewaskan 444 orang.

Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Data resmi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menunjukan 11.604 orang menderita HIV/AIDS. "Dalam triwulan terakhir saja terjadi penambahan kasus sebanyak 655 AIDS dan 90 HIV!" urai Fahmi Arizal menegaskan lonjakan angka. Aktivis anti HIV/AIDS pada organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia ini sangsi apakah angka resmi itu bisa mewakili jumlah sebenarnya. "Soalnya banyak yang tidak melapor mas!" ujar Fahmi. Kalau melihat jumlah maka ibukota Jakarta menduduki peringkat tertinggi. 33 persen kasus terjadi di Jakarta. Papua menduduki peringkat kedua, kemudian Jawa Timur, Jawa Barat-Banten dan Bali. "Cuma kalau dilihat dari jumlah kasus per penduduk maka Papua sangat tinggi!" tukas Fahmi. "51 persen dari 100 ribu penduduknya mengidap HIV/AIDS!"

Perkembangan yang menjadi perhatian khusus aktivis anti HIV/AIDS ini adalah meningkatnya penularan melalui pemakaian bersama jarum suntik pecandu narkoba. "Tingkatnya kini seimbang dengan penularan lewat hubungan seks!" tegas Fahmi. Jadi pendapat umum di Indonesia bahwa HIV/AIDS adalah penyakit seksual runtuh sudah. Dalam catatan Perserikatan Bangsa Bangsa kenaikan terbesar di Asia dalam hal penularan HIV terjadi lewat tukar menukar jarum suntik pecandu narkoba. Ini berbeda dengan Afrika yang jumlah penularan tertinggi terjadi lewat hubungan seks.

Moral versus medis
Perubahan pola penularan di Indonesia mendorong aktivis anti HIV/AIDS memikirkan cara-cara baru pencegahan. Yang jelas nampaknya kampanye moral-agama saja tidak cukup. "Mereka yang sudah beresiko tinggi, saya pikir, pendekatan medis yang harus ditingkatkan!" ujar Fahmi. Tapi ini tidak mudah. Kampanye ATM Kondom-mesin penjual kondom- mengundang caci maki bahkan aksi kekerasan kelompok-kelompok penjujung moral dan agama. Demikian juga ketika aksi membagi jarum suntik steril bagi pecandu narkoba. Ini jadi ladang cemooh berbagai kalangan. Mungkin pikirnya, masa sih perbuatan melanggar norma dan hukum malah difasilitasi.

Romo Berti pemimpin Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Katolik di Roma, Italia, menyesalkan berbagai sikap yang tak mendukung upaya pencegahan penyebaran HIV lewat pendekatan medis. "Gereja harusnya tidak kaku berprinsip bahwa yang ini tidak boleh, yang ini tidak boleh, dan harus hanya ini!" jelasnya. Prinsip yang dikedepankan adalah hormat kepada nilai kemanusiaan. Persoalannya, demikian Romo Berti buru-buru menambahkan, sejauh mana kita menilai pendekatan medis ini menghormati nilai-nilai kemanusian. Ia memberi contoh penggunaan kondom dalam konteks keluarga. Suami istri dalam ikatan pernikahan yang sah, kalau demi kesehatan pasangan maka penggunaan kondom tak dipersoalkan.

Pendekatan medis sulit
Akan tetapi Romo Berti, yang juga sering melakukan kampanye kemanusiaan, mengakui bahwa Vatikan sebagai lembaga agama Katolik secara universal tak mungkin mendukung kampanye penggunaan kondom sebagai upaya memerangi penyebaran HIV. Dia menyerahkan kebijakan itu kepada gereja-gereja lokal. "Kemendesakan situasi lokal membuat gereja berbicara dalam kampanye-kampanye pencegahan lewat cara medis," tukasnya. Sedikit berbeda, Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia, menekankan ketaatan beragama sebagai cara pencegahan penyebaran penyakit HIV/AIDS. "Pendekatan medis kalau tidak didasari prinsip-prinsip agama pasti akan menemui kegagalan!" serunya. Karena itu Ismail setuju dengan sikap Katolik yang menolak mendukung kampanye penggunaan kondom.

Melihat itu, nampaknya, upaya mencegah penyebaran HIV/AIDS lewat pendekatan medis masih harus menapaki jalan terjal. Terlebih lagi harapan seperti yang dituangkan Fahmi Arizal. Ia sebelum ini mengusulkan agar tokoh moral dan tokoh agama, yang punya jutaan umat, turut bersuara mengkampanyekan pendekatan medis. Walau begitu Fahri tidak berkecil hati. Sebab di luar perbedaan yang ada, semuanya sepakat penyebaran HIV/AIDS harus dicegah. Romo Berti, misalnya, menegaskan bahwa pemimpin umat harus melakukan kampanye hidup sehat. Demikian juga Ismail Yusanto yang menekankan ketaatan agama sebagai upaya menangkal HIV/AIDS. Pola apapun yang ditempuh, semuanya tetap sepakat HIV/AIDS harus HABIS!

1 komentar: